Sekilas Tentang Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari


Hasyim Asy’ari namanya. Lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 24 Dzulqaidah 1287 H, bertepatan dengan 10 April 1875 M. Ia merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara yang lahir dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah. Menurut silsilah, Hasyim masih terhitung keturunan kedelapan Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim sudah nampak. Saat usia 13 tahun, ia sudah membantu sang ayah mengajar santri-santri yang usianya jauh lebih tua.

Pada usia 15 tahun, Hasyim meninggalkan orangtuanya. Berkeliling dari pesantren satu ke pesantren lain untuk menambah wawasannya tentang agama Islam. Pesantren pertama yang disinggahinya adalah Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Lalu pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Lalu pindah lagi di Pesantren Trenggilis, Semarang. Merasa belum puas dengan ilmu yang didapat, Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektual dan spiritualnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan. Belajar ilmu agama dan kehidupan di bawah bimbingan sang kyai legendaris, Kyai Cholil Bangkalan.

Hasyim Asyari juga belajar agama dari Kyai Ya’qub, pengasuh Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di bawah bimbingan Kyai Ya’kub inilah Hasyim merasa menemukan sumber Islam yang diinginkan. Hingga ia betah menempuh pendidikan agama di Siwalan selama lima tahun. Waktu yang tak sebentar itu rupanya membuat Kyai Ya’qub kesengsem dengan ketekunan, kecerdasan, dan sifat Hasyim yang alim. Sehingga pimpinan Pesantren Siwalan itupun menjodohkan Hasyim—yang saat itu baru berusia 21 tahun—dengan salah seorang anaknya yang bernama Chadidjah.

Tak lama setelah Hasyim menikah dengan Chadidjah, mereka pun berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sayang, jalan yang harus dilalui pasangan pengantin muda itu tak semulus yang diharapkan. Tujuh bulan tinggal di Makkah, Hasyim kembali ke tanah air, setelah istri dan anaknya meninggal. Dalam kesedihan karena ditinggal orang-orang yang sangat dicintainya, Hasyim lantas menggunakan seluruh waktunya untuk mendalami ajaran Islam dan membaca ayat-ayat al-Quran.

Pada 1893, Hasyim kembali ke Makkah. Sejak saat itu, ia menetap di tanah 7 tahun. Belajar agama pada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, Syaikh Mahfudh At-Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmahullah, Syaikh Shaleh Bafadlal, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

Pada l899, Hasyim pulang ke tanah air. Sebagai seorang alim yang tinggal di Makkah cukup lama, kemampuan Hasyim di bidang agama tidak diragukan. Ia pun diminta kakeknya, Kyai Usman, untuk membantu mengajar di pesantren miliknya. Hasyim dikenal tidak hanya sebagai seorang ulama dan guru ngaji. Tapi ia juga dikenal sebagai petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Setiap dua hari dalam seminggu, Hasyim memeriksa sawah-sawahnya. Kadang-kadang ia juga harus pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari hasil pertanian dan perdagangan itulah Hasyim mampu menghidupi keluarga dan pesantren yang dirintisnya.

Penghujung tahun 1899, Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Lokasinya sekitar 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir. Sebuah pabrik gula milik penjajah yang sudah berdiri sejak tahun 1870. Di sebidang tanah yang dibelinya itu, Hasyim membangun rumah dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari rumah sederhana di dekat Pabrik Gula yang penuh maksiat inilah, embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Mula-mula Hasyim mengajar santri-santrinya di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan sebagai tempat tinggal. Pada saat dibuka, santrinya hanya 8 orang. Tapi tiga bulan kemudian, Hasyim sudah memiliki santri sebanyak 28 orang.

Pada 1902, disaat pesantren yang dirintisnya sudah mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan, Hasyim kembali ditinggal mati istrinya. Selang beberapa bulan kemudian, Hasyim menikah dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas—pengasuh  Pesantren Sewulan, Madiun. Dari rahim Nyai Nafiqoh ini Hasyim dikaruniai sepuluh orang anak. Mereka adalah Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh, dan Muhammad Yusuf.

Setelah Nyai Nafiqoh wafat pada 1920-an, Hasyim menikah lagi dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan—pengasuh Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari rahim istri barunya ini Hasyim dikaruniai empat orang anak, yaitu Abdul Qodir, Fatimah, Khotijah, dan Muhammad Ya’kub.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H, bertepatan dengan 31 Januari 1926M, Hasyim—atas saran Kyai Cholil dan Kyai—mendirikan “Nahdhatul Ulama” yang artinya kebangkitan ulama. Hasyim dipercaya untuk menduduki posisi pimpinan utamanya

Sebagai seorang ulama yang sangat dekat dengan rakyat kecil, pengaruh Hasyim begitu kuat di lingkungannya. Tapi justru itu yang membuat pemerintah penjajah menaruh perhatian serius kepadanya. Baik penjajah Belanda maupun Jepang tak pernah kehilangan cara untuk merangkulnya agar bersedia membantu kepentingan penjajah. Pada masa penjajahan Belanda, Hasim pernah ditawari bintang jasa, tapi ia menolaknya. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya era baru bagi umat Islam. Jauh berbeda dengan Belanda yang represif terhadap umat Islam, Jepang justru memilih jalan untuk menggabungkan kebijakan represi dan kooptasi. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh dukungan dari pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hasyim dan putra-putranya. Ini dilakukan karena Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari. Hal ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga pribumi, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Hasyim menolak aturan itu. Sebab, sebagai Muslim, ia berkeyakinan bahwa hanya Allah yang wajib disembah, bukan manusia. Imbasnya, Hasyim ditangkap dan di masukkan ke tahanan secara berpindah-pindah tempat. Mulai dari Jombang, Mojokerto, dan akhirnya di Bubutan, Surabaya.

Pada 18 Agustus 1942—setelah empat bulan dipenjara—Hasyim dibebaskan karena banyaknya protes dari para kyai dan santri. Mereka yang berperan besar dalam upaya pembebasan Hasyim adalah Abdul Wahid dan Kyai Wahab Hasbullah yang berhasil menjalin hubungan diplomatis dengan pembesar-pembesar Dai Nippon, khususnya Saikoo Sikikan.

Pada 22 Oktober 1945, ketika NICA (Netherland Indian Civil Administration), pasukan bentukan Pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris berusaha melakukan agresi ke Jawa, khususnya Surabaya, dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Hasyim bersama seluruh ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan penjajah itu.

Resolusi Jihad itu sendiri ditandatangani di kantor Nahdhatul Ulama, Bubutan, Surabaya. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad yang diserukan oleh Rais Akbar Nahdatul Ulama itu lantas keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata seadanya untuk melawan pasukan NICA dan Inggris. Imbasnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang menyejarah itu. Peristiwa10 Nopember 1945 itu kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Haidar Musyafa

0 Response to "Sekilas Tentang Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari"

Posting Komentar